Beranda » Pendidikan

Category Archives: Pendidikan

Hasil SPMB 2: Kuliah atau bekerja ?

Pengumuman SPMB sebentar lagi. Banyak harapan yang bergantung atas pengumuman yang memang mereka nantikan. Di tahun 1988 sampai 1990-an SPP kuliah di PTN hanya 120 ribu per semester dan jauh lebih murah daripada zaman sekarang yang berkisar jutaan, belasan juta bahkan ada yang ratusan juta. Salah satu penyebabnya adalah perubahan bentuk PTN menjadi BHMN.

Selembar Kertas “SAKTI”

Dalam konteks lain dalam situasi akhir sebagai hasil proses sistem pendidikan nasional bahwa ternyata bekerja adalah pilihan terbanyak dari para lulusan SLTA sekarang. Padahal formasi pekerjaan yang bermodal kan hanya selembar kertas “ijazah” SLTA jumlahnya jauh lebih sedikit daripada pesertanya. Hal ini terjadi karena para lulusan sarjana banting harga “degradasi” mau berlomba-lomba bersaing dengan yuniornya, anak-anak lulusan SMA.

Banyaknya lulusan sarjana menjadi pengangguran merupakan tamparan bagi stakeholder  sistem pendidikan itu sendiri, terutama pemerintah dan pengelola perguruan tinggi serta masyarakat kaya. Mereka perlu melakukan terobosan baru yang inovatif dan tepat sasaran. Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan pasar tenaga kerja dan dunia usaha.

Mencoba Realistis

Kekuatan minat mereka untuk kuliah sesungguhnya cukup besar, tetapi mereka mencoba realistis. Kuliah dizaman sekarang mahal dan tidak terjangkau. Ditambah lagi dengan informasi bahwa para seniornya banyak yang menganggur. Seolah-olah SPMB menjadi pilihan pertama, utama, dan sekaligus terakhir mengingat biaya kuliah di PTS mahal dan tidak terjangkau. Jika ditanya bagaimana jika mereka tidak lulus SPMB? mereka menjawab pilihan selanjutnya tinggal satu, yaitu bagaimana saya dapat bekerja.

Sepintas keputusan bekerja adalah realistis. Tetapi terasa masih banyak ganjalannya, apalagi jika pola pikir ini berakar. Dengan hanya bermodal selembar kertas sakti , maka hakekatnya anak-anak negeri lebih memilih menjadi buruh daripada menjadi tuannya. Idealnya seharusnya mereka menjadi tuan dinegerinya sendiri !

Bagaimana nasib anak bangsa esok hari jikalau situasi ini tidak berubah ? Relakah kita, jika anak negeri sekedar menjadi buruh atas majikan “kapitalis” asing di negerinya sendiri?

Pejuangan perlu pengorbanan

Hidup adalah perjuangan. Pejuangan tak ada tanpa pengorbanan. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kita lakukan?

Seputar SPMB : Kiat bijak memilih Perguruan Tinggi Menuju Indonesia Bangkit

Keputusan melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi merupakan pilihan yang ideal. Mengingat persaingan SDM semakin ketat dan penuh kejutan. Siapapun tidak mau menjadi pecundang, sebaliknya mereka ingin menjadi pemenang ditengah-tengah kehidupan manusia.

Keterbatasan sumberdaya ditengah-tengah kesulitan perekonomian keluarga dan rendahnya informasi, menjadikan memilih perguruan tinggi adalah pekerjaan yang sulit. Keputusan yang salah pada akhirnya akan membawa penyesalan dan pengorbanan yang besar. Arah putar jam tidak mungkin diputar balik kembali.

Berikut ini disampaikan beberapa kiat sukes memilih pergurun tinggi:

1. Menguji derajat kemauan untuk studi lanjut.

Kegagalan memilih perguruan tinggi dapat menjadi kenyataan dengan melihat seberapa kuat kemauan dan semangat calon mahasiswa itu sendiri. Apapun pilihannya, jika dilaksanakan dengan tekad kuat dan semangat yang tinggi akan memperkecil resiko kegagalan, dan membuka peluang kesuksesan berkarier. Ibarat batu keras yang menerima tetesan air secara terus menerus tanpa henti pada akhirnya batu tersebut akan pecah juga. Kapan batu tersebut pecah? Berapa lama batu tersebut akan pecah bergantung pada ketinggian air, tekanan air, debit air dan sebagainya. Dalam konteks ini, bergantung pada minat dan bakat saudara?

2. Menguji minat dan bakat

Minat dan bakat adalah dua hal yang berbeda. Peminat belum tentu Pebakat, sedangkan Pebakat sering tidak ingin menjadi Peminat. Seorang yang meraih kesuksesan sejati, yaitu seseorang yang memiliki bakat sekaligus memiliki minat yang tinggi. Ia memiliki kemampuan untuk mengembangkan bakatnya guna meraih karier yang gemilang.

Sebagai ilustrasi, banyak peminat olah raga sepak bola. Mereka mampu menahan kantuknya dan mengorbankan pekerjaan esok harinya demi sepakbola. Namun hanya sedikit diantaranya yang juga berbakat. Sebaliknya seorang yang memiliki suara emas tetapi tidak berminat menekuni dunia tarik suara, ia tidak dapat memanfaatkan kesempatan menjadi bintang terkenal (superstar). Ternyata bidang akuntanlah yang dipilihnya.

Minat dan bakat adalah penting, tetapi jauh lebih penting adalah minat. Dengan modal minat yang kuat, tantangan dan hambatan apapun dapat diminimalisir. Selanjutnya melalui celah sekecil apapun tantangan dan hambatan tersebut dapat diubah menjadi peluang kesuksesan.

3. Menguji Isi kantong

Isi hati seseorang adalah se-dalam lautan samudera dan tidak ada seorangpun yang tahu pasti. Sebaliknya isi kantong, walau tidak mudah tetapi tidak sesulit mengetahui isi hati seseorang. Isi kantong yang harus dikorbankan para orang tua dapat diperhitungkan sebelum pengambilan keputusan memilih perguruan tinggi.

Sejatinya pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang didukung dana besar. Jadi sudah sewajarnya Pendidikan berkualitas adalah mahal. Sehingga biaya penyelenggaraan perguruan tinggi yang berkualitas-pun menjadi mahal. Jika biaya pendidikan di bebankan seluruhnya kepada para orang tua mahasiswa, maka beban orang tua menjadi berat. Selanjutnya yang terjadi adalah kesempatan pendidikan tinggi kualitas hanya dapat dinikmati bagi orang kaya saja.

Bagi yang memiliki kendala dana, jangan pernah kuatir. Karena tersedia pilihan cerdas untuk dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri/kedinasan atau swasta yang memiliki ciri-ciri sebagai berkut :

  • Memiliki Visi yang tegas menjadi kampus yang berorientasi “Sosial”

  • Memiliki sumber pemasukan yang besar di luar SPP mahasiswa

  • Memiliki akses dana yang kuat (pemerintah dan swasta)

  • Memiliki program Beasiswa

4. Menguji Orientasi dan komitment perguruan tinggi

Perguruan tinggi telah hadir menawarkan berbagai program pendidikan. Perguruan tinggi ternama dan “tak bernama” pun sibuk mempromoskan kampusnya. Ada yang memanfaatkan media televisi, radio, internet, koran, majalah, tabloid, spanduk, poster, pamflet, brosur. Intinya tawaran mereka semuanya, menarik dan menjanjikan.

Selanjutnya para orang tua dan calon mahasiswa menjadi bingung untuk memilih, sehingga ukuran yang paling mudah untuk dijadikan acuan dalam memilih perguruan tinggi adalah kesesuaian kemampuan keuangan orang tua dengan biaya pendidikan (SPP, Sumbangan gedung, kemahasiswaan, dll). Jika hal itu yang dilakukan, maka hal tersebut merupakan kesalahan besar. Seharusnya jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Orientasi dan komitmen perguruan tinggi perlu diuji.

Idealnya, Orientasi perguruan tinggi adalah berorientasi pada penciptaan lulusan yang memiliki keahlian dan kompetensi serta keberanian membuka lapangan kerja daripada penambahan angkatan kerja.

Selanjutnya, perhatikan komitmen perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang baik seyogyanya memiliki komitmen bahwa mahasiswa adalah subjek bukan objek pendidikan. Dengan berpegang teguh pada komitmen demikian, maka diharapkan proses belajar mengajar dapat berjalan secara efektif, efisien dan sinergis.

5. Menguji program studi (Prodi)

Kesesuaian antara minat dan bakat calon manahsiswa dengan prodi yang akan dipilih merupakan pekerjaan tidak mudah. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang harus diperhatikan: (1) Minat dan bakat, (2) ketersediaan prodi, (3) prospek lulusan prodi. Idealnya suatu pilihan meliputi kesesuaian ketiga hal diatas. Kondisi ideal adalah mahasiswa kuliah pada prodi yang sesuai dengan yang memiliki minat dan bakat, dimana lulusan prodi tersebut dibutuhkan oleh pasar pengguna lulusan.

Kondisi ideal memang sulit diwujudkan. Pada kenyataanya, seringkali yang terjadi hanya merupakan kombinasi sebagian dari beberapa hal tersebut diatas, yaitu kekuatan minat mahasiswa dan prodi yang kualitas. Walaupun demikian tidak perlu kuatir bahwa upaya tersebut apakah dapat mewujudkan prospek lulusan.

Prospek lulusan menjadi sempit jika orientasi lulusan adalah menjadi pekerja. Tetapi prospek berubah dari sempit menjadi luas ketika orientasi bergeser dari seorang pekerja bergeser menjadi wirausaha. Program studi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berbasis kewirausahaan “entrepreneurship”, “technopreneurship”, atau “infopreneurship” adalah perguruan tinggi masa depan dan pantas dijadikan pilihan.

5. Menguji sumberdaya perguruan tinggi

Ketersediaan Fasilitas fisik yang memadai diperlukan guna mendukung proses belajar mengajar efektif, fasilitas yang diperlukan seperti kecukupan ruang kuliah, ruang dosen, ruang laboratorium, studio, ruang unit pelaksana teknis, ruang instalasi, ruang kantor, dan sebagainya adalah penting. Sekarang adalah era informasi, maka yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan sarana pembelajaran yang mengarah pada penyelenggaraan pendidikan berbasis ICT (information and communications technology. Mengingat media internet merupakan sumber perkembangan ilmu pengetahuan dan terapan, maka peranan ICT menjadi syarat terpenting bagaimana mewujudkan keberhasilan proses pembelajaran. Melalui ICT diharapkan perguruan tinggi mampu menjawab kebutuhan pasar pengguna lulusan.

Ketersediaan Fasilitas e-learning (kuliah jarak jauh langsung) adalah ciri-ciri perguruan tinggi yang telah memanfaatkan ICT bagi proses belar mengajar.

7. Menguji Status

Ada dua (dua) legalitas minimal setiap program studi selaku penyelenggara pendidikan di perguruan tinggi. Pertama, ijin penyelenggaraan pendidikan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, dimana ijin penyelenggaraan dapat diperpanjang setiap lima tahun. Kedua, status akreditasi yang di keluarkan oleh Badan Akreditasi Nasional Depdiknas dengan peringkat A, B, C dan tidak terakreditasi. Peringkat menunjukkan tingkat kemampuan proses penyelenggaran tingkat program studi dilihat dari berbagai aspek, seperti: jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.

Menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61 ayat 2: “Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

Jadi status akreditasi sendiri tidak menjadi bermakna jika orientasi lulusan bukan menjadi pekerja, tetapi menjadi wirausaha yang mandiri. Selembar kertas berupa ijazah bukan untuk melamar pekerjaan semata, tetapi merupakan bukti saudara pantas menjadi lulusan perguruan tinggi dengan ciri-ciri lulusan: kritis, kreatif, inovatif, rasional dan berorientasi solusi bukan ilusi.

8. Menguji Keyakinan.

Terakhir, apapun pilihannya harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Ketika pilihan sudah diputuskan pantang mundur ke belakang. Kegagalan diawali ketika munculnya keraguan.

Pendidikan kualias adalah mahal dan butuh pengorbanan besar. Pengorbanan adalah investasi, dan investasi pendidikan adalah investasi jangka panjang. Hasil dari investasi pendidikan tidak dengan cepat dapat dirasakan manfaatnya bagi stakeholder.

9. Penutup

Warisan harta yang melimpah kepada anak yang tak berilmu akan habis dalam waktu singkat, tetapi warisan ilmu akan kekal sampai akhir hayat. Anak yang berilmu dapat memelihara harta orang tuanya, bahkan harta tersebut akan tumbuh dan berkembang serta bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia.

Anak bangsa yang berilmu dapat memelihara kekayaan bangsa dan negara. Anak bangsa berilmu adalah SDM yang memiliki daya saing tinggi dan menjadi modal utama kemajuan dan kemadirian bangsa. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang menghargai sejarah dan karya sesama anak bangsa. Dengan demikian kita dapat mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan berdaulat.

Bangsa yang kuat harus didukung ekonomi yang kuat. Kedaulatan Ekonomi bangsa menjadi syarat penting kedaulatan bangsa. Melalui kesempatan studi lanjut ke perguruan tinggi diharapkan dapat mewujudkan Indonesia yang mandiri. Tanpa mengecilkan arti anak bangsa yang tidak berkesempatan menikmati belajar di perguruan tinggi, maka kepada lulusan perguruan tinggi, yaitu dokter, guru, insinyur, ekonom, sosiolog, akuntan, peneliti, notaris, apoteker dan profesi lainnya diharapkan dapat berpartisipasi membangun masyarakat peduli produk Indonesia sebagai syarat mewujudkan Indonesia Mandiri !

Ayo, Indonesia bangkit!

(Iwan Darmawansyah MPPi)

 

Sekitar Hasil Ujian ” UAN “, Studi ke Perguruan Tinggi dan Kualitas SDM

 

Buat apa sekolah, kalau lulus hanya menganggur. Pendidikan adalah sasaran antara, karena setelah lulus diharapkan dapat berkerja guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan bekerja seseorang mendapatkan konpensasi secara berkala, bisa harian, mingguan atau bulanan.

Daya beli masyarakat yang cenderung, manjadikan jasa pendidikan adalah barang mahal.

Seorang anak yang baru menginjak umur 14 tahun memiliki prestasi akademik luar biasa. Ia diterima menjadi mahasiswa fakultas kedokteran di PTN ternama diYogyakarta. Banyak orang kagum sekaligus iri, kapan dirinya atau orang dekatnya bisa mengikuti jejaknya. Sayangnya sebelum kekaguman itu berakhir, tiba-tiba kekaguman itu sekejap hilang. Ternyata prestasi yang luar biasa, ini harus ditebus dengan sejumlah uang masuk yang luar biasa pula. Uang 80 juta mungkin bagi seorang pengusaha sukses, manajer BUMN, Staf BI tidaklah besar. Sebaliknya uang tersebut sangatlah besat dan mustahil bila harus dikeluarkan oleh seorang petani, buruh, PNS, Prajurit TNI, bahkan bagi seorang Guru atau Dosen.

Begitu mahalnya penyelenggaraan pendidikan. Di suatu kesempatan seorang pakar pendidikan Dr. Arief Rahman pernah, mengatakan bahwa pendidikan yang bermutu memerlukan dana yang besar. Artinya kalau sepenuhnya sumber dana penerimaan sebuah perguruan hanya dari peserta didik, maka dapat dipastikan hanya anak orang kaya saja yang dapat menikmati pendidikan yang bermutu. Sebaliknya bagi anak yang kurang beruntung karena dilahirkan dari orang tua yang kurang mampu jangan banyak berharap bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di pelosok negeri, seperti di Bantul Yogyakarta, dimana seluruh siswa peserta UAN tidak luluas. Padahal nilai minimal kelulusan adalah 4,01 keatas. Di kota-kota besar pun tidak sedikit siswa-siswa harus mengulang. Secara Nasional siswa yang tidak lulus dan harus mengulang kurang lebih 20% dari jumlah peserta UAN keseluruhan.

Si Bejo anak Bojong Gede – Bogor, salah seorang yang tidak beruntung karena diharuskan mengulang UAN, sedikit beralasan bahwa banyak pelajaran yang tidak Ia kuasai ternyata justeru ditanyakan dalam lembar soal ujian. Si Farah siswa SMA di jakarta juga tidak kaget, ketika dinyatakan harus mengulang, Katanya soalnya sulit dan waktunya terasa singkat.

Itulah cuplikan hiruk-piruk ujian Nasional yang sempat menjadi isu panas antara pemerintah dengan DPR. Terjadi tarik menarik antar elite, ada yang setuju dengan batas nilai kelulusan, tetapi sebaliknya pihak DPR menganggap persyaratan itu terlalu berat dan kuatir akan banyak jatuh korban “Tidak lulus”.

Akhirnya diambil jalan tengah antara pemerintah dan DPR, batas nilai disetujui dengan catatan tetap diberi kesempatan untuk ujian nasional ulang.

Sekedar catatan (Sumber: http://www.mediaindo.co.id), Indonesia selama tiga dekade terakhir mencatat berbagai kemajuan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dengan adanya indikasi membaiknya berbagai indikator SDM sejak 1960 hingga 1999. Namun, berbagai indikator SDM Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya.

“Pembangunan SDM nasional selama tiga dekade terakhir terus membaik,” kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, ketika membuka Tinjauan Paruh Waktu Program Kerja Sama Pemerintah RI dan UNICEF tahun 2001-2004, di Jakarta,kemarin.


Berbagai perbaikan indikator SDM dari 1960 hingga 1999, kata Kwik, antara lain ditunjukkan dengan usia harapan hidup rata-rata meningkat dari 41,0 tahun menjadi 66,2 tahun. Selain itu, juga angka kematian bayi turun dari 159 menjadi 48 per 1.000 kelahiran hidup, serta angka buta huruf dewasa turun, menurun dari 61% menjadi 12%. Namun, tambah Kwik, berbagai indikator SDM Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan prestasi negara ASEAN, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia.


Hal ini terlihat antara lain dari rendahnya peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) yang mencakup angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi murid sekolah, dan pengeluaran per kapita.


“Berdasarkan Human Development Report 2003, peringkat human development index (HDI) Indonesia menempati urutan 112 dari 175 negara,” kata Kwik. Selain itu, jika dipilih menurut jenis kelamin, dengan menggunakan nilai indeks pembangunan gender (IPG), Indonesia menempati urutan ke-91 dari 155 negara.


Kwik menambahkan, Indonesia saat ini dihadapkan pada kondisi melambatnya pencapaian indikator-indikator di bidang pembangunan SDM, antara lain disebabkan oleh kondisi ekonomi dan sosial politik serta ketahanan dan keamanan yang kurang menguntungkan. “Oleh karena itu, salah satu tantangan besar bagi Indonesia adalah bagaimana untuk kembali mencapai kemajuan pesat yang pernah diraih sebelumnya,” katanya.


Sementara itu, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Seman Widjojo mengatakan bahwa rendahnya kualitas sumber daya manusia tersebut akibat pembangunan Indonesia hanya berorientasi pada upaya mengejar pertumbuhan ekonomi. “Tetapi mengesampingkan perbaikan kualitas manusia, sehingga hal tersebut akan menimbulkan berbagai problema sosial dan kesenjangan,” tegas Seman.


Menyikapi persoalan tersebut, Kwik dan Seman mengatakan bahwa perlu adanya upaya pembangunan kualitas SDM Indonesia. Seman mengatakan pemerintah daerah perlu mendorong pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap upaya tersebut, bahkan sejak usia dini di daerah. “Alokasi APBD yang umumnya terserap untuk operasional birokrasi saat ini, kiranya lebih diarahkan bagi pengeluaran pembangunan, khususnya untuk perbaikan kualitas manusia Indonesia,” katanya.

Mengutip http://opini.wordpress.com/, …… Tahun ini (baca: tahun 2006) indeks pembangunan manusia Indonesia berada di posisi 108 dari 177 negara. Bandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara. Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina di urutan 23, 34, 61, 74, dan 84. Kita menjadi sesak dada karena lebih awal memulainya.

Harus jujur kita katakan dalam membangun kualitas manusia bangsa ini memang tidak punya komitmen jelas. Namun, ini belum kiamat. Sekarang kita harus memulainya. Sekaranglah saatnya kita mulai bicara membangun sumber daya manusia dengan harapan. Sebagai peneguh spirit, sekurang-kurangnya potensi-potensi individu kita di banyak bidang tidak mengecewakan.

Kita punya banyak anak bangsa yang berjaya di ajang Olimpiade Fisika. Kita punya banyak nama dari berbagai bidang yang berjaya kelas dunia. Namun, memang menjadi merapuh jika bicara kekuatan bangsa secara kolektif…….

Pembangunan kualitas bangsa harus berorientasi perbaikan kualitas manusia Indonesia. Peranan perguruan tinggi sebagai pencetak manusia yang berkualitas sangat diharapkan kita semua. Alokasi 20% dari APBN bagi sektor pendidikan perlu segera direalisasikan, guna mendukung pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyak. Jadi sekolah atau bahkan kuliah di perguruan tinggi bukan hanya bagi orang kaya saja. (Rabita)